Pulau Komodo: Ketika Konservasi Berubah Menjadi Komodifikasi

01 November 2025

Pulau Komodo bukan sekedar lanskap eksotis yang menarik perhatian dunia, tetapi juga sebagai kawasan dengan kompleksitas sosial ekologis yang tinggi, sekaligus sebagai simbol paradoks antara warisan alam purba dan ambisi modern manusia. Di tanah yang menjadi ikon otentik Varanus komodonesis, spesies purba terakhir di muka bumi, dimana pemerintah berupaya mengubah kawasan konservasi ini menjadi destinasi wisata super-premium atas nama pembangunan berkelanjutan. Namun dibalik branding ekonomi hijau dan janji kesejahteraan, tersimpan pertarungan sunyi antara implementasi pelestarian dan praktik komersialisasi, antara kepentingan ekologis dan hasrat kapitalis, yang mana Pulau Komodo yang dahulu dijaga sebagai ruang hidup alami kini berada ditengah catatan sejarah baru, dan dari sini timbul retorika, apakah pulau ini akan tetap menjadi simbol konservasi dunia, ataukah justru menjadi momentum atas keserakahan yang mengatasnamakan perubahan?

Polemik pembangunan pariwisata super-premium di Taman Nasional Komodo (TNK) menggambarkan kontradiksi krusial dalam pembangunan berkelanjutan Indonesia, dimana pemerintah mengklaim kebijakan tersebut sebagai upaya memperkuat ekonomi melalui super-premium tourism yang selaras dengan konsep Sustainable Development Goals (SDGs), meskipun realitas di lapangan menunjukkan inkonsistensi terhadap arah yang bertentangan seperti konsep konservasi yang mengalami transformasi menjadi instrumen komersialisasi dengan mengintervensi ruang hidup satwa langka dan masyarakat lokal. Fenomena tersebut menunjukkan adanya pergeseran konservasi dari prinsip ekologis menuju mekanisme kapitalistik yang mengejar keuntungan jangka pendek, bahkan proyek tersebut menuai respon kritis atas keprihatinan dari lembaga internasional seperti UNESCO, melalui laporan State of Conservation tahun 2021 memberikan peringatan kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan adanya potensi kerusakan ekosistem dan pelanggaran terhadap prinsip konservasi kawasan warisan dunia (UNESCO, 2021), dimana hal tersebut merupakan bentuk intervensi yang menunjukan bahwa pembangunan di TNK bukan sekedar isu internal suatu negara, melainkan representasi atas atensi global terhadap kesenjangan antara komitmen keberlanjutan dan implementasi di lapangan.

Menurut Muthohharoh et al. (2021), perubahan paradigma konservasi di TNK telah bergeser dari ecological-based conservation (EBC) ke market-based conservation (MBC), yang mengindikasikan bahwa kepentingan ekonomi mendominasi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam kasus Pulau Komodo, kebijakan membuka kawasan konservasi bagi kepentingan investasi menyebabkan alih fungsi dari peran ekologis menjadi komodifikasi ekonomi, pemerintah memberikan izin kepada PT Komodo Wildlife dan PT Segara Komodo Lestari yang menguasai ratusan hektar wilayah konservasi (Hasanah, 2024). Di bawah konsep ekowisata berkelanjutan, konservasi justru menjadi arena eksploitasi pasar yang eksklusif, dimana dalam kaitanya proyek tersebut UNESCO menilai proyek wisata premium tersebut berpotensi mengancam nilai Outstanding Universal Value (OUV) dari TNK dan meminta Indonesia menunda pembangunan sampai ada kajian mengenai dampak lingkungan yang jelas (AMDAL), akan tetapi, peringatan tersebut belum sepenuhnya mendapat perhatian dari pihak terkait sehingga pembangunan berjalan dengan justifikasi ekonomi nasional.

Situasi kontekstual tersebut mendorong munculnya model ekowisata elitis yang lebih menonjolkan aspek eksklusivitas dibandingkan keberlanjutan sosial, dan dalam artian lain adalah pariwisata yang menggunakan retorika berkelanjutan sebagai alat legitimasi untuk mengaburkan praktik eksklusi sosial. Purnama dan Ibrahim (2024) menemukan bahwa masyarakat adat Ata Moda mengalami marginalisasi akibat pembatasan akses terhadap ruang hidup mereka, sedangkan protes adat yang mereka lakukan dianggap sebagai hambatan dalam pembangunan, dan dalam hal ini sama dengan menempatkan masyarakat lokal sebagai ancaman terhadap kawasan wisata, kebijakan menimbulkan ketegangan sosial yang berkelanjutan, dan dalam jangka panjang, konsep pembangunan seperti ini berpotensi memperparah kesenjangan antara kepentingan ekonomi negara dan hak sosial masyarakat lokal yang seharusnya menjadi subjek dalam pembangunan berkelanjutan. 

Persoalan tersebut juga mengindikasikan lemahnya aspek regulasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan hal ini dipertegas dalam penelitian Tati et al. (2021) menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hal ini terjadi karena proyek wisata di kawasan konservasi tidak disertai dengan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memadai. Padahal realitas membuktikan bahwa AMDAL merupakan alat ilmiah untuk memastikan bahwa aktivitas manusia tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan yang ada, dan ketika AMDAL direduksi menjadi formalitas administrasi, prinsip kehati-hatian akan terabaikan dan arah pembangunan bergeser dari nilai-nilai etis yang seharusnya menjadi landasan. Pratiwi dan Juerges (2022) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kondisi sebagaimana hal tersebut merupakan bentuk kegagalan integrasi pengetahuan ilmiah dalam kebijakan publik yang mana keputusan politik lebih ditentukan oleh kepentingan ekonomi daripada analisis ilmiah, sehingga berakibat pada lemahnya kebijakan pariwisata di TNK dalam mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. 

Ketimpangan tersebut diperkuat oleh temuan Mariati et al. (2022) yang menunjukkan bahwa keberlanjutan lingkungan di TNK mencapai 52,3%, yang memerlukan adanya peningkatan, sementara untuk keberlanjutan budaya 31% yang berarti masih di bawah rata-rata. Dari data tersebut dapat dikonfirmasi bahwa dimensi sosial dan budaya belum mendapatkan perhatian yang seimbang dengan aspek ekonomi, dan dalam konteks ini, proyek wisata super-premium lebih merepresentasikan branding hijau daripada implementasi nyata yang berkelanjutan. Setiap narasi keberlanjutan yang diklaim justru menjadi perantara legitimasi untuk proyek kapitalistik yang tidak peka terhadap daya dukung ekologis, bahkan intervensi UNESCO tidak cukup kuat dalam menahan laju kebijakan yang lebih berpihak pada pertimbangan ekonomi nasional, sehingga praktik tersebut dapat mengancam status Pulau Komodo sebagai Warisan Dunia, mengingat UNESCO dapat mencabut apabila degradasi ekologis terus berlanjut. 

Sebagai alternatif dari pariwisata elitis, model ekowisata non-elitis menawarkan pendekatan berbasis partisipasi masyarakat dan keadilan ekologis dan dalam penelitian Suryawan et al. (2025) menegaskan bahwa community-based ecotourism terbukti mampu menyeimbangkan aspek ekonomi dan pelestarian ekologis sebagaimana yang diterapkan di kawasan West Bali National Park dan Benoa Bay. Konsep tersebut menjadikan masyarakat sebagai pelaku usaha utama yang menjaga, mengelola, sekaligus menikmati hasil pembangunan, dan dalam konsep tersebut, konservasi tidak lagi dimaknai sebagai upaya pemisahan antara manusia dengan lingkungan ekologis, tetapi sebagai kolaborasi yang berakar pada kearifan lokal dan kemandirian sosial-ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. 

Polemik pembangunan Pulau Komodo menjadi fenomena krusial dan refleksi penting dalam sektor pariwisata yang penting bagi arah pembangunan Indonesia dan ketika konservasi direduksi menjadi komoditas, masyarakat dipinggirkan, dan AMDAL diabaikan, maka pembangunan kehilangan esensinya sebagai upaya menciptakan harmoni antara manusia dan lingkungan ekologis. Intervensi UNESCO menjadi sinyal kuat bahwa dunia menyoroti ketidaksesuaian antara komitmen keberlanjutan di Indonesia dan implementasinya di lapangan, sehingga upaya pemberdayaan pariwisata seharusnya tidak berhenti pada peningkatan devisa negara, tetapi mencakup tanggung jawab moral dalam menjaga keseimbangan ekologis dan keadilan sosial.

 

Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id 01 November 2025

 

Writer: 

Hanum Zatza Istiqomah
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in social, cultural, and sustainability issues.

 

Referensi:

  1. Hasanah, M., & Bayo, L. N. (2024). “Twin Brothers”: Claim-Making Strategies by the Ata Modo in the Tourism Development Project of Komodo National Park, West Manggarai. International Quarterly for Asian Studies, 55(2), 173–195. https://doi.org/10.11588/iqas.2024.2.21145 
  2. Mariati, S., Parera, A. K., & Rahmanita, M. (2022). Analisis Keberlanjutan Taman Nasional Komodo sebagai Destinasi Wisata Berkelanjutan. Jurnal Ilmiah Pariwisata, 27(2), 153–153. https://doi.org/10.30647/jip.v27i2.1621 
  3. Muthohharoh, N. H., Soetarto, E., & Adiwibowo, S. (2021). Kontestasi Pemanfaatan Ruang Taman Nasional Komodo: Perspektif Akses dan Eksklusi. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 9(2). https://doi.org/10.22500/9202135506 
  4. National Geographic. (2010, September 10). Komodo dragon, facts and photos. National Geographic. https://www.nationalgeographic.com/animals/reptiles/facts/komodo-dragon 
  5. Pratiwi, S., & Juerges, N. (2022). Advocacy Coalitions and Knowledge Transfer within Geothermal Policy Change in Indonesian Conservation Forests. The Journal of Environment & Development, 31(2), 168–195. https://doi.org/10.1177/10704965211070244 
  6. Purnama, A. O. D. A. A., & Ibrahim, M. (2024). Resistensi Masyarakat Lokal Terhadap Pengelolaan Pariwisata Taman Nasional Komodo (Studi Kasus Desa Komodo). Jurnal Perspektif, 7(1), 84–93. https://doi.org/10.24036/perspektif.v7i1.905 
  7. Suryawan, I. W. K., Rahman, A., Suhardono, S., Nguyen, V. V., & Lee, C.-H. (2025). Green-blue workforce readiness for mangrove conservation: Community competency clusters and participatory drivers in Indonesia. Forest Policy and Economics, 178, 103593. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2025.103593 
  8. Tati, Rusdiana, D., Doni, & Nugraha, S. (2023, October 4). Identifikasi Pelanggaran AMDAL Mega Proyek Wisata Pulau Komodo. Komodo National Park. https://komodonp.com/identifikasi-pelanggaran-amdal-mega-proyek-wisata-pulau-komodo/ 
  9. UNESCO World Heritage Centre. (2010). Komodo National Park. Unesco.org. https://whc.unesco.org/en/list/609/ 
  10. UNESCO World Heritage Centre. (2021). UNESCO World Heritage Centre - State of Conservation (SOC 2021) Komodo National Park (Indonesia). Unesco.org. https://whc.unesco.org/en/soc/4177 
  11. Sumber foto: whc.unesco.org/